Sempur, dari Prajurit hingga Wanita Penghibur

BOGOR – Kali ini kita coba sedikit mengupas cerita tentang daerah Sempur. Ada dua versi tentang asal muasal penamaan daerah ini. Beberapa sumber menyebutkan, Sempur berasal dari nama sebuah jenis pohon, dimana pada beberapa puluh tahun lalu, daerah ini banyak tumbuh pohon-pohon Sempur. Pohon ini memiliki buah yang menyerupai melon dalam ukuran yang kecil, dan rasanya seperti buah jambu air. Jika Anda penasaran seperti apa bentuk pohon itu, Anda bisa mendatangi Kebun Raya Bogor dan menanyakan kepada petugas yang ada disana tentang keberadaan pohon Sempur yang masih tumbuh disana.


Versi lain menyebutkan, Sempur itu berasal dari kata San Poor (bahasa Belanda-red) yang berarti tempat pemandian atau kolam renang. Sampai saat ini masih terdapat bekas-bekas keberadaan kolam renang tersebut, walaupun fungsinya sudah berubah sama sekali.
Pada zaman sebelum tahun 1900-an, Sempur merupakan kawasan yang diberi nama Kedung Halang yang meliputi Kampung Rambutan, Lebak Pilar, Sempur Kidul, Sempur Kaler, Taman Kencana dan daerah sekitarnya. Sempur merupakan daerah pengembangan pemukiman Belanda yang awalnya terpusat pada Istana Bogor dan terus menyebar dan meluas ke wilayah sekitarnya.
Saat itu Sempur memang merupakan lahan kosong. Sebuah lapang yang membentang luas diantara wilayah perbukitan yang mengarah ke Timur menuju Taman Kencana, Kebun Raya di sebelah Selatan, dan dearah Jalan Soedirman dari arah Barat yang dibelah oleh Sungai Ciliwung. Menuju arah Utara, terdapat lokasi perkebunan dan persawahan yang dikelola pribumi yang sebagian datang dari daerah luar Sempur seperti Bantarjati dan Babakan. Awal kepemilikan lahan biasanya dari inisiatif merawat dan mengelola, kemudian perlahan mulai diperjualbelikan atau sistem sewa.
Beberapa pemukiman pribumi awal, kemudian hadir di daerah sekitar perbukitan/tebing. Bagian wilayah lapang, kemudian berdiri bangunan-bangunan yang didirikan pemerintahan Belanda yang diperuntukkan bagi para pejabat pemerintahan Belanda yang bekerja di Istana dan kantor-kantor disekitarnya. Bahkan sekitar 6 bangunan yang dirancang oleh Arsitek ternama Eropa bernama Thomas Kaarsten, terdapat di Sempur. Selain itu, terdapat kawasan perumahan yang dikenal dengan ‘Rumah Hitam’.
Kawasan ini terdiri dari rumah-rumah yang awalnya diperuntukan bagi tahanan tentara KNIL Belanda. Rumah-rumah ini terletak di deretan ST (SMP 11 sekarang) sampai jembatan. Dikenal rumah hitam karena cat rumah tersebut berwarna hitam (ya, iya lah!), selain itu mungkin karena fungsinya sebagai rumah tahanan yang kesannya serem, jadi disebut rumah hitam.
Berdiri juga sebuah sekolah yang bernama Ambasche School di Sempur Kidul, tapi karena akan dibangun komplek perumahan militer, maka sekolahan tersebut pindah ke lokasi SMP 11 sekarang dan namanya diganti menjadi Sekolah Teknik atau sekolah pertukangan (diperkirakan 1942 mulai dikenal sebagai ST). Sekolah ini telah menerima murid umum baik pribumi, etnis Cina, maupun Indo Belanda.
Pada tahun 1930-an, kawasan ini sudah memiliki beberapa fasilitas seperti terdapatnya air ledeng, gas, dan listrik, bahkan alat komunikasi telepon walaupun fasilitas-fasilitas tersebut awalnya hanya untuk kepentingan para pejabat Belanda untuk keperluan tugas-tugas istana.
Sempur kemudian terus berkembang, melewati masa-masa peralihan dari satu pemerintahan ke pemerintahan lain. Berdirilah pabrik roti bernama Brokkel milik orang Jerman yang sekarang sedang dibangun hotel Sempur Kencana. Dan pasca pemerintahan Jepang (1940-an) wilayah sempur ini juga terkenal dengan tempat para wanita penghibur. Masa itu para tentara KNIL secara paksa menggunakan para wanita untuk ajang pemuasan nafsu. Pada masa itu banyak terdapat gubuk-gubuk yang beratap daun aren sebagai rumah tinggal para wanita penghibur tersebut. Jadi yang namanya jablay, itu mungkin udah ada ya dari dulu.
Jadilah Sempur seperti saat ini, dimana terdapat pemukiman-pemukiman yang berkembang di dalamnya.
[Sumber: www.kampoengbogor.org]

Read More......

Riwayat Kota dalam Semangkuk Laksa

BOGOR – Kali ini kita coba sedikit mengupas cerita tentang daerah Sempur. Ada dua versi tentang asal muasal penamaan daerah ini. Beberapa sumber menyebutkan, Sempur berasal dari nama sebuah jenis pohon, dimana pada beberapa puluh tahun lalu, daerah ini banyak tumbuh pohon-pohon Sempur. Pohon ini memiliki buah yang menyerupai melon dalam ukuran yang kecil, dan rasanya seperti buah jambu air. Jika Anda penasaran seperti apa bentuk pohon itu, Anda bisa mendatangi Kebun Raya Bogor dan menanyakan kepada petugas yang ada disana tentang keberadaan pohon Sempur yang masih tumbuh disana.

Masa lalu sebuah kota tak hanya bisa dilihat dari arsitektur bangunan-bangunan lama atau benda-benda peninggalan di museum saja. Jejak sejarah itu pun bisa dituang ke dalam mangkuk dan kita cecap dengan lidah.
Mulai dari rasa, bahan-bahan pembuatnya, hingga cara meracik, memasak, dan menyajikan makanan-makanan itu, semua bercerita tentang masa lalu Buitenzorg. Di Jalan Suryakencana, kita dapat menjumpai artefak kuliner ini.
Beberapa ratus meter dari Gerbang Utama Kebun Raya Bogor (KRB) ke arah Tajur, tepat di samping Toko Ngesti, ada Jalan Ranggagading di sebelah kanan. Hingga era 1970-an, jalan ini masih menjadi salah satu pusat aktivitas warga Bogor dengan keberadaan Sekolah Kesatuan dan Bioskop Ranggagading, atau lebih dikenal dengan Bioskop City.
Seperti layaknya pusat keramaian kota, di depan bioskop itu banyak penjual makanan dan jajanan. Tiga jenis makanan yang lazim dijual waktu itu adalah laksa, soto kuning, dan nasi uduk khas Bogor.
Kini, bioskop itu sudah lama tutup dan tinggal tersisa tembok bagian depannya saja. Sekolah Kesatuan juga sudah pindah ke Jalan Pajajaran. Keramaian pusat kota sudah lama pergi dari Ranggagading.
Namun, pedagang nasi uduk pikul dan pemilik warung laksa serta pelbagai penganan masa lalu masih setia berjualan di situ. Dari penampilan dan cara berdagang kedua penjual makanan itu, mereka seolah terperangkap kapsul waktu dari era beberapa puluh tahun lalu.
Bersahaja
Yang disebut warung laksa di tempat itu hanyalah naungan kecil yang menempel di pagar sebuah toko. Cara meracik dan penyajian laksa sangat orisinal dan tradisional, sebutir telor rebus yang sudah dikupas, dikerat dengan seutas benang. Kuah laksa kuning kental itu dipanaskan dengan arang.
Meski begitu, laksa yang bersahaja ini sangat digemari orang Bogor dan terkenal dengan sebutan Laksa Kampung Cingcau atau Laksa Pak Ucim. ”Saya berjualan laksa turun-temurun dari ayah. Sejak bioskop ini dibangun tahun 1955, ayah saya sudah jualan di sini,” kata Ace Hasyim (44).
Tak kalah sederhana adalah nasi uduk pikul yang membuka dagangan hanya beberapa meter di sebelah laksa Pak Ucim. Warga Bogor yang pernah bersekolah di Sekolah Kesatuan atau beraktivitas di situ pasti mengenal nasi uduk yang dinamakan Nasi Uduk Mawi ini.
Karena menggunakan pikulan, porsi dan pilihan lauk yang disediakan untuk menemani nasi juga sangat terbatas. Ada sayur tongkol pedas, telor dadar kecap, bakwan, sate kentang, sate usus ayam, perkedel, dan sayur tahu pedas.
Semua ditampung dalam piring dan rantang kecil supaya cukup disusun di salah satu kotak penyimpan di pikulan. Rasanya pun tak istimewa-istimewa amat, hampir sama dengan masakan yang diracik ibu atau istri di rumah. Nasinya pun tak terasa gurih seperti lazimnya nasi uduk.
Digemari
Namun, baik nasi uduk Mawi yang kini diteruskan putranya Cece maupun laksa Pak Ucim sangat diminati. Jarum jam baru menunjukkan pukul 07.30, Minggu (27/4), tetapi pikulan Cece sudah dikerumuni pembeli. Sebagian besar dari mereka datang dengan mengendarai mobil terbaru. Tak sampai satu jam, lauk yang tersedia tinggal sedikit.
Demikian pula laksa Pak Ucim. Setiap hari Minggu, jarang bisa menemukan kios laksa tersebut di atas pukul 11.30. ”Saya mulai buka jam 07.30. Nanti agak siang sedikit sudah habis. Langganan saya banyak yang datang dari jauh, ada yang dari Sunter segala,” ungkap Ace yang setiap hari menjual 50 mangkuk laksa seharga Rp 6.000 per mangkuk itu.
Masih di Jalan Ranggagading juga dapat dinikmati minuman es buah pala Mang Okip yang segar dan soto kuning Pak Maman. Sama seperti nasi uduk dan laksa, dua jenis santapan itu sudah ada sejak masa kejayaan Bioskop City. Sebagai bukti betapa lama Maman sudah berjualan soto bogor, papan kayu yang menjadi alas atau telenan untuk mengiris daging saat ini sudah cekung hingga sedalam 5 sentimeter karena terlalu sering dipakai.
Di Jalan Suryakencana sendiri, begitu banyak pilihan jajanan dan makanan. Beberapa sudah ada sejak zaman dulu, seperti lumpia basah Anton, asinan Lengkap, bubur Bah Teng Oen, taoge goreng Gang Besi, sampai bir kocok jahe Acep di Jalan Roda.
Mereka pun masih mempertahankan cara masak tradisional. Seperti lumpia Anton yang masih menggunakan arang, atau taoge goreng Gang Besi yang setia memakai kayu bakar.
Pecinan
Bagaimana ceritanya Jalan Suryakencana jadi pusat jajanan? Warga setempat menuturkan, sejarahnya bermula dari permukiman Tionghoa di situ.
Tahun 1970-an, Jalan Suryakencana (di zaman Belanda bernama Handelstraat merupakan bagian Jalan Raya Pos atau Jalan Daendels) sudah dikenal sebagai kawasan Pecinan-nya Bogor. Warga Tionghoa bermukim di sekitar jalan itu, termasuk Jalan Roda dan Jalan Padasuka, sesuai penataan kota oleh Belanda. Seperti kawasan Empang atau alun-alun Bogor menjadi permukiman warga Arab.
Untuk memenuhi kebutuhan makanan, sejumlah warga akhirnya berinisiatif membuat beberapa jenis makanan sendiri yang khas China. ”Jadi, kalau mau makan, mereka tak perlu pergi jauh-jauh,” kata Gouw Tjeng Liam (42), pemilik asinan Lengkap, yang lahir dan besar di Jalan Suryakencana.
Seiring dengan perkembangan zaman, makanan khas China itu akhirnya beradaptasi dengan cita rasa makanan Jawa atau Sunda, sehingga jadilah racikan makanan khas Jalan Suryakencana yang masih diteruskan sampai sekarang. Ngohiang, bubur Bah Teng Oen, lumpia basah, soto bogor, dan taoge goreng adalah beberapa contohnya. (ILHAM KHOIRI)

Kompas 04/05/08


Read More......

Berpeluh dan Berdebu di Suryakencana

BOGOR – Kali ini kita coba sedikit mengupas cerita tentang daerah Sempur. Ada dua versi tentang asal muasal penamaan daerah ini. Beberapa sumber menyebutkan, Sempur berasal dari nama sebuah jenis pohon, dimana pada beberapa puluh tahun lalu, daerah ini banyak tumbuh pohon-pohon Sempur. Pohon ini memiliki buah yang menyerupai melon dalam ukuran yang kecil, dan rasanya seperti buah jambu air. Jika Anda penasaran seperti apa bentuk pohon itu, Anda bisa mendatangi Kebun Raya Bogor dan menanyakan kepada petugas yang ada disana tentang keberadaan pohon Sempur yang masih tumbuh disana


Belum lama, 30 tahun lalu, Bogor masih kota sejuk dan tenang. Berjalan kaki masih menjadi pengalaman yang memanjakan indra dengan pohon kenari di sepanjang jalan, sementara pemandangan ke arah Gunung Gede dan Pangrango menjadi sesuatu yang terberi.
Kota ini akan senyap pada pukul tujuh malam saat kampus Institut Pertanian Bogor (IPB) di Jalan Pajajaran, Baranangsiang, di Jalan Gunung Gede, dan di Taman Kencana mengistirahatkan aktivitasnya.
Kehadiran lebih dari 4.000 mahasiswa di ketiga kampus itu memberi kehidupan pada Bogor. Bangunan kampus Baranangsiang yang berseberangan dengan Kebun Raya Bogor menjadi salah satu penanda Bogor setelah Indonesia merdeka, cantik dengan halaman rumput luas menghadap ke Jalan Pajajaran.
Penanda kota lain selain Kebun Raya, Istana Bogor, dan Museum Zoologi adalah Jalan Suryakencana yang tegak lurus dengan pintu masuk utama Kebun Raya. Pusat kegiatan lain berada di sekitar Jembatan Merah dan Pasar Anyar di bagian barat kota, bersebelahan dengan stasiun kereta api yang tiap hari membawa penumpang dari Bogor ke Jakarta.
Jalan Suryakencana adalah pusat keramaian Bogor. Bukan hanya karena di sepanjang tepi jalan itu bertempat tinggal dan berdagang warga Tionghoa sejak zaman kolonial, juga karena jalan itu adalah akses termudah mencapai Bandung dari Jakarta melalui Puncak sebelum ada Jalan Tol Jagorawi.
”Kalau mau ke Puncak, dulu melalui Jalan Suryakencana. Di sana pusat keramaian kota, ramai dalam arti Bogor yang sepi, lho,” kenang Kismono (65), mantan dosen di Fakultas Peternakan IPB dan kini pengajar program D-3 IPB. Kismono datang ke Bogor pada tahun 1961 sebagai mahasiswa Fakultas Kedokteran Hewan dan Peternakan IPB yang ketika itu masih di bawah Universitas Indonesia.
Jejak perubahan
Itu dulu. Setelah Jalan Tol Jagorawi memudahkan akses Jakarta-Bogor, Bogor tumbuh cepat. Sayangnya, nasibnya sama seperti banyak kota di Indonesia: tumbuh kurang terencana.
Sebagai kota, usia Bogor sangat tua. Secara resmi kota ini menyebut hari lahirnya 3 Juni 1482, dihitung dari saat penobatan Raja Siliwangi dari Kerajaan Padjadjaran. Kampung yang sudah ada saat itu, antara lain Baranangsiang, Lawanggintung, dan Lawang Seketeng. Tempat tersebut berada tidak jauh dari Jalan Batutulis, diambil dari nama Prasasti Batu Tulis yang mencatat nama-nama kampung itu dan Pakuan sebagai ibu kota, dengan Lawanggintung dan Lawang Seketeng bersisian dengan Jalan Suryakencana.
Melihat Jalan Suryakencana sekarang, sulit membayangkan kawasan itu pernah jadi pusat keramaian Bogor seperti dikenang penduduk Bogor dan orang-orang yang tiga generasi tinggal di jalan tersebut maupun dari namanya yang menyiratkan kecemerlangan.
Menuju ke Suryakencana melalui Jalan Juanda di depan Kebun Raya adalah upaya melelahkan karena angkot berhenti di sembarang tempat. Berjalan di trotoar Suryakencana mesti berhati-hati karena tidak rata dan banyak lubang. Belum lagi pedagang buah dan makanan memenuhi kaki lima. Sampah berserakan dan lubang-lubang di tepi jalan berisi air menghitam pada Minggu (27/4) siang. Angkot membuat macet jalan tiga lajur itu dengan berhenti sesukanya.
Deretan rumah toko (ruko) tiga atau empat lantai berdiri rapat di sisi-sisi jalan sebagian besar tutup pada hari Minggu, seperti pada masa lalu yang menyenangkan, meskipun di tempat lain di Kota Bogor toko dan mal tidak mengenal hari libur.
Sebagian kecil dari ruko itu tidak lagi berfungsi. ”Yang punya pindah ke (perumahan) Vila Duta,” kata Ny Yung Hidayat (77). Dia bersama suaminya (almarhum) memiliki usaha jasa foto Puncak Photo Studio setelah mengambil oper bisnis itu dari kerabat yang mendirikan bisnis itu tahun 1941.
Ny Yung mengenang Suryakencana yang bersih dengan delman dan sepeda sebagai alat transportasi serta penerangan jalan masih memakai tiang bambu. ”Atap rumah masih dari daun kelapa,” papar dia tentang masa mudanya. ”Sekarang ngebul (berdebu), berisik, macet.”
Orang dari Jakarta yang mampir di Bogor pada tahun 1970-an pasti masih mengingat toko roti Tan Ek Tjoan yang kini sudah pindah tempat, sedangkan orang Bogor banyak yang bangga bisa belanja kebutuhan rumah tangga di Ngesti yang berdiri sejak 1953.
Dua Toko Ngesti berada bersisian dengan dipisahkan Jalan Ranggagading, sedang satu toko lagi ada di Jalan Pajajaran. ”Ngesti berasal dari nama ibu saya. Tiga anak lelakinya masing-masing dikasih satu toko,” papar Hindarto (59). Dia bersama istrinya mengelola toko Ngesti di sisi kiri gang dan tinggal bersama Ny Ngesti (80) yang masih tampak bugar.
”Kami mempertahankan harga murah dan melayani pelanggan. Barang dipilih yang paling dibutuhkan sehari-hari dan selengkap mungkin. Seperti (toko) swalayan, tetapi enggak besar. Jadi, hemat waktu belanja,” kata Ny Hindarto yang ikut menunggui toko bersama suaminya.
Di situ dijual bakso sampai kutang dan celana dalam, ada gula sampai seragam sekolah, ada kopi dan aneka kue kering sampai tas merek Elizabeth buatan Bandung, kosmetik, jamu dan suplemen makanan, lengkap dengan tawaran diskon untuk sejumlah barang.
Jejak kejayaan Suryakencana juga bisa dilihat pada toko roti Singapore yang berdiri pada awal 1980-an. Saat itu, Singapore Bakery memberi warna modern pada Suryakencana dengan rak kaca berisi roti jenis baru untuk saat itu di Bogor, seperti roti sosis dan long john yang tidak lain roti panjang berlapis coklat dan kepingan kacang tanah.
Meja dan kursi saling berpunggungan untuk menjaga privasi pengunjung. Kini, toko itu menjadi toko roti dan swalayan dan hampir separuh meja pajangnya kosong pada Minggu (27/4) siang.
Di luar Suryakencana, toko roti dan kue Bogor Permai di Jalan Jenderal Sudirman yang berdiri tahun 1962 masih bertahan sebagai tempat mencari oleh-oleh. Toko itu mempertahankan kemasan dari kotak anyaman bambu dengan alas daun pisang selain buka sejak pagi hari untuk orang yang ingin sarapan.
Di depannya ada rumah makan Yun Sin yang kini bernama Sahabat. ”Baksonya enak sekali,” kata Kismono.
Terus berubah
Meskipun daerah tua Bogor tampak tertatih-tatih dibandingkan daerah-daerah baru yang terus berkembang di pinggiran kota, tetapi bukan berarti tak ada gerak di sana.
Bila Puncak Photo Studio kini dikelola Chendra Hidayat (53), anak tertua Ny Yung, maka Ngesti mulai beralih ke generasi ketiga. Anak pasangan Hindarto yang lulus sekolah bisnis di Australia tengah mengembangkan usaha kopi bubuk Nikmat kemasan sekali pakai.
”Kopi kami sangrai dan giling sendiri mulai tahun lalu dan pemasaran baru di Bogor,” papar Hindarto.
Sejak dua tahun lalu ada rumah makan Mie Sehat di Suryakencana yang menjual mi dari campuran bayam, wortel, atau bit tanpa pengawet dan penyedap rasa untuk orang yang semakin sadar kesehatan.
Pedagang makanan di emperan kini jadi daya tarik Suryakencana. Soto Kuning Pak Jusup sampai sore tak kekurangan pembeli, sementara Atmaja yang berjualan di depan Mie Sehat bisa menjual 600 buah combro dan misro sehari, seharga Rp 1.500 per buah. Di dekatnya ada gerobak menjual aneka pepes, dari ikan nila, teri, jamur, tahu, oncom, peda, sampai pisang sagu. Orang pun masih rela antre menunggu kursi atau makan di mobil sambil berpeluh.
”Saya masih ke sana cari martabak bangka atau beli buah karena harganya lebih murah dari
supermarket,” kata Kismono.
Kompas 04/05/08


Read More......

Kota Mal dan Angkot

Kota yang hidup memang akan terus tumbuh, secara fisik dan secara budaya. Bogor adalah contoh kota yang baru tumbuh secara fisik.
Kismono (65) mengenang masa kuliah di Institut Pertanian Bogor (IPB) yang ketika tahun 1961 masih di bawah Universitas Indonesia.

”Kami kuliah naik sepeda atau jalan kaki dari asrama di dekat Sempur ke kampus di Baranangsiang. Setiap hari bawa jas hujan karena Bogor sering hujan biarpun bukan musim hujan. Kalau pagi, di daerah agak tinggi seperti di Taman Kencana masih berkabut, makanya ada nama Jalan Halimun,” ungkap pensiunan dosen IPB yang masih mengajar di program D-3 IPB itu.
Sekarang, hujan tak sekerap dulu dan orang Bogor mengeluhkan suhu udara tak lagi sejuk. Selain kota dipenuhi angkot dan kendaraan pribadi—banyak berpelat nomor Jakarta—ruang terbuka pun semakin menyusut, berganti dengan mal dan toko. Di kota seluas 21,56 kilometer itu ada sembilan mal atau pusat perbelanjaan besar.

Sepanjang Jalan Pajajaran menuju Tajur, kawasan yang langsung dapat diakses dari Pintu Tol Jakarta-Bogor, perubahan terjadi cepat. Lapangan rumput luas dan ruang-ruang kelas mahasiswa tingkat satu IPB di Kampus Baranangsiang dua tahun lalu berubah menjadi Bogor Botani Square. Kawasan ini juga akan menampung IPB International Convention Center dan hotel.
Dari situ ke arah Tajur di tenggara di kedua sisi jalan dipenuhi pertokoan dan rumah makan, mulai dari waralaba asing dan lokal sampai rumah makan baru punya orang Bogor. Di ujungnya ada Plaza Ekalokasari yang sebelumnya adalah asrama mahasiswa.
Dari Jalan Pajajaran menuju Jalan Gunung Gede berjajar factory outlet, Hotel Pangrango, dan juga tempat makan. Pada hari Minggu atau libur, jalan ini semakin hiruk pikuk oleh lalu lintas, sebagian besar mobil dari Jakarta.
Melaju terus ke arah Warung Jambu akan terlihat Plaza Warung Jambu, sementara di kawasan Cimanggu yang selalu tenang karena merupakan tempat penelitian pertanian milik negara, berdiri Hypermart. Di dekatnya, di Jalan Shaleh Iskandar, berdiri Plaza Indah Bogor.

Pangeran Afrika
Bila kita mencari informasi melalui internet mengenai Kota Bogor, hampir pasti tempat yang akan disebut adalah wisata tas di Tajur.Kawasan ini berubah amat cepat dalam hampir 30 tahun terakhir. Sutarum Wiryono, konsultan manajemen pendidikan Bank Pembangunan Asia dan lulus Fakultas Pertanian IPB tahun 1983 dan tinggal di Asrama Ekalokasari sejak 1980 hingga lulus mengingat Tajur sebagai kawasan yang sepi. Praktikum ke lembaga penelitian pertanian tropis Biotrop yang dikelola Kementerian Pendidikan ASEAN di Tajur akan melalui Jalan Raya Tajur yang lebar. Lebih jauh ke masa 40 tahun lalu, Kismono mengingat Tajur sebagai daerah yang tak berani dia kunjungi begitu masuk rembang petang. Pasalnya, jalanan itu amat sepi dan remang-remang, di kiri-kanan jalan masih banyak sawah dan tegalan.

Kini di Jalan Raya Tajur berderet toko yang menjual tas dan barang kulit lain. Mereka tumbuh pada tahun 1990-an dan membangkitkan kembali Tajur yang sempat mati angin setelah Jalan Tol Jagorawi memungkinkan orang menuju Puncak tanpa harus lewat Tajur.Jalan raya itu memang dari dulu lebih lebar dibandingkan dengan jalan-jalan utama di Kota Bogor. Jalan ini termasuk dalam Jalan Raya Pos (Groote Postweg) yang dibangun Gubernur Jenderal Daendels untuk menghubungkan Anyer hingga Panarukan sebagai jalan untuk memobilisasi tentara Hindia Belanda melawan tentara Inggris saat itu.

Penulis Lie Kim Hok yang hidup pada akhir abad ke-19, dalam karangannya yang ditulis kembali oleh Kepustakaan Populer Gramedia tentang Sastra Melayu Tionghoa menyebutkan salah satu tokoh besar di Tajur saat itu adalah Pangeran Aquaboachi dari Afrika. Dia memiliki istana di Jalan Raya Tajur. Sayang jejak istana itu lenyap. Kalaupun ada bangunan besar di sana, hanya tersisa di dekat pertigaan Katulampa di seberang Sungai Cibalok yang membelah Tajur dari timur ke barat. (iam/dhf/ong/nmp)
Kompas 04/05/08

Read More......