Kota Mal dan Angkot

Kota yang hidup memang akan terus tumbuh, secara fisik dan secara budaya. Bogor adalah contoh kota yang baru tumbuh secara fisik.
Kismono (65) mengenang masa kuliah di Institut Pertanian Bogor (IPB) yang ketika tahun 1961 masih di bawah Universitas Indonesia.

”Kami kuliah naik sepeda atau jalan kaki dari asrama di dekat Sempur ke kampus di Baranangsiang. Setiap hari bawa jas hujan karena Bogor sering hujan biarpun bukan musim hujan. Kalau pagi, di daerah agak tinggi seperti di Taman Kencana masih berkabut, makanya ada nama Jalan Halimun,” ungkap pensiunan dosen IPB yang masih mengajar di program D-3 IPB itu.
Sekarang, hujan tak sekerap dulu dan orang Bogor mengeluhkan suhu udara tak lagi sejuk. Selain kota dipenuhi angkot dan kendaraan pribadi—banyak berpelat nomor Jakarta—ruang terbuka pun semakin menyusut, berganti dengan mal dan toko. Di kota seluas 21,56 kilometer itu ada sembilan mal atau pusat perbelanjaan besar.

Sepanjang Jalan Pajajaran menuju Tajur, kawasan yang langsung dapat diakses dari Pintu Tol Jakarta-Bogor, perubahan terjadi cepat. Lapangan rumput luas dan ruang-ruang kelas mahasiswa tingkat satu IPB di Kampus Baranangsiang dua tahun lalu berubah menjadi Bogor Botani Square. Kawasan ini juga akan menampung IPB International Convention Center dan hotel.
Dari situ ke arah Tajur di tenggara di kedua sisi jalan dipenuhi pertokoan dan rumah makan, mulai dari waralaba asing dan lokal sampai rumah makan baru punya orang Bogor. Di ujungnya ada Plaza Ekalokasari yang sebelumnya adalah asrama mahasiswa.
Dari Jalan Pajajaran menuju Jalan Gunung Gede berjajar factory outlet, Hotel Pangrango, dan juga tempat makan. Pada hari Minggu atau libur, jalan ini semakin hiruk pikuk oleh lalu lintas, sebagian besar mobil dari Jakarta.
Melaju terus ke arah Warung Jambu akan terlihat Plaza Warung Jambu, sementara di kawasan Cimanggu yang selalu tenang karena merupakan tempat penelitian pertanian milik negara, berdiri Hypermart. Di dekatnya, di Jalan Shaleh Iskandar, berdiri Plaza Indah Bogor.

Pangeran Afrika
Bila kita mencari informasi melalui internet mengenai Kota Bogor, hampir pasti tempat yang akan disebut adalah wisata tas di Tajur.Kawasan ini berubah amat cepat dalam hampir 30 tahun terakhir. Sutarum Wiryono, konsultan manajemen pendidikan Bank Pembangunan Asia dan lulus Fakultas Pertanian IPB tahun 1983 dan tinggal di Asrama Ekalokasari sejak 1980 hingga lulus mengingat Tajur sebagai kawasan yang sepi. Praktikum ke lembaga penelitian pertanian tropis Biotrop yang dikelola Kementerian Pendidikan ASEAN di Tajur akan melalui Jalan Raya Tajur yang lebar. Lebih jauh ke masa 40 tahun lalu, Kismono mengingat Tajur sebagai daerah yang tak berani dia kunjungi begitu masuk rembang petang. Pasalnya, jalanan itu amat sepi dan remang-remang, di kiri-kanan jalan masih banyak sawah dan tegalan.

Kini di Jalan Raya Tajur berderet toko yang menjual tas dan barang kulit lain. Mereka tumbuh pada tahun 1990-an dan membangkitkan kembali Tajur yang sempat mati angin setelah Jalan Tol Jagorawi memungkinkan orang menuju Puncak tanpa harus lewat Tajur.Jalan raya itu memang dari dulu lebih lebar dibandingkan dengan jalan-jalan utama di Kota Bogor. Jalan ini termasuk dalam Jalan Raya Pos (Groote Postweg) yang dibangun Gubernur Jenderal Daendels untuk menghubungkan Anyer hingga Panarukan sebagai jalan untuk memobilisasi tentara Hindia Belanda melawan tentara Inggris saat itu.

Penulis Lie Kim Hok yang hidup pada akhir abad ke-19, dalam karangannya yang ditulis kembali oleh Kepustakaan Populer Gramedia tentang Sastra Melayu Tionghoa menyebutkan salah satu tokoh besar di Tajur saat itu adalah Pangeran Aquaboachi dari Afrika. Dia memiliki istana di Jalan Raya Tajur. Sayang jejak istana itu lenyap. Kalaupun ada bangunan besar di sana, hanya tersisa di dekat pertigaan Katulampa di seberang Sungai Cibalok yang membelah Tajur dari timur ke barat. (iam/dhf/ong/nmp)
Kompas 04/05/08

Comments :

0 comments to “Kota Mal dan Angkot”