Riwayat Kota dalam Semangkuk Laksa

BOGOR – Kali ini kita coba sedikit mengupas cerita tentang daerah Sempur. Ada dua versi tentang asal muasal penamaan daerah ini. Beberapa sumber menyebutkan, Sempur berasal dari nama sebuah jenis pohon, dimana pada beberapa puluh tahun lalu, daerah ini banyak tumbuh pohon-pohon Sempur. Pohon ini memiliki buah yang menyerupai melon dalam ukuran yang kecil, dan rasanya seperti buah jambu air. Jika Anda penasaran seperti apa bentuk pohon itu, Anda bisa mendatangi Kebun Raya Bogor dan menanyakan kepada petugas yang ada disana tentang keberadaan pohon Sempur yang masih tumbuh disana.

Masa lalu sebuah kota tak hanya bisa dilihat dari arsitektur bangunan-bangunan lama atau benda-benda peninggalan di museum saja. Jejak sejarah itu pun bisa dituang ke dalam mangkuk dan kita cecap dengan lidah.
Mulai dari rasa, bahan-bahan pembuatnya, hingga cara meracik, memasak, dan menyajikan makanan-makanan itu, semua bercerita tentang masa lalu Buitenzorg. Di Jalan Suryakencana, kita dapat menjumpai artefak kuliner ini.
Beberapa ratus meter dari Gerbang Utama Kebun Raya Bogor (KRB) ke arah Tajur, tepat di samping Toko Ngesti, ada Jalan Ranggagading di sebelah kanan. Hingga era 1970-an, jalan ini masih menjadi salah satu pusat aktivitas warga Bogor dengan keberadaan Sekolah Kesatuan dan Bioskop Ranggagading, atau lebih dikenal dengan Bioskop City.
Seperti layaknya pusat keramaian kota, di depan bioskop itu banyak penjual makanan dan jajanan. Tiga jenis makanan yang lazim dijual waktu itu adalah laksa, soto kuning, dan nasi uduk khas Bogor.
Kini, bioskop itu sudah lama tutup dan tinggal tersisa tembok bagian depannya saja. Sekolah Kesatuan juga sudah pindah ke Jalan Pajajaran. Keramaian pusat kota sudah lama pergi dari Ranggagading.
Namun, pedagang nasi uduk pikul dan pemilik warung laksa serta pelbagai penganan masa lalu masih setia berjualan di situ. Dari penampilan dan cara berdagang kedua penjual makanan itu, mereka seolah terperangkap kapsul waktu dari era beberapa puluh tahun lalu.
Bersahaja
Yang disebut warung laksa di tempat itu hanyalah naungan kecil yang menempel di pagar sebuah toko. Cara meracik dan penyajian laksa sangat orisinal dan tradisional, sebutir telor rebus yang sudah dikupas, dikerat dengan seutas benang. Kuah laksa kuning kental itu dipanaskan dengan arang.
Meski begitu, laksa yang bersahaja ini sangat digemari orang Bogor dan terkenal dengan sebutan Laksa Kampung Cingcau atau Laksa Pak Ucim. ”Saya berjualan laksa turun-temurun dari ayah. Sejak bioskop ini dibangun tahun 1955, ayah saya sudah jualan di sini,” kata Ace Hasyim (44).
Tak kalah sederhana adalah nasi uduk pikul yang membuka dagangan hanya beberapa meter di sebelah laksa Pak Ucim. Warga Bogor yang pernah bersekolah di Sekolah Kesatuan atau beraktivitas di situ pasti mengenal nasi uduk yang dinamakan Nasi Uduk Mawi ini.
Karena menggunakan pikulan, porsi dan pilihan lauk yang disediakan untuk menemani nasi juga sangat terbatas. Ada sayur tongkol pedas, telor dadar kecap, bakwan, sate kentang, sate usus ayam, perkedel, dan sayur tahu pedas.
Semua ditampung dalam piring dan rantang kecil supaya cukup disusun di salah satu kotak penyimpan di pikulan. Rasanya pun tak istimewa-istimewa amat, hampir sama dengan masakan yang diracik ibu atau istri di rumah. Nasinya pun tak terasa gurih seperti lazimnya nasi uduk.
Digemari
Namun, baik nasi uduk Mawi yang kini diteruskan putranya Cece maupun laksa Pak Ucim sangat diminati. Jarum jam baru menunjukkan pukul 07.30, Minggu (27/4), tetapi pikulan Cece sudah dikerumuni pembeli. Sebagian besar dari mereka datang dengan mengendarai mobil terbaru. Tak sampai satu jam, lauk yang tersedia tinggal sedikit.
Demikian pula laksa Pak Ucim. Setiap hari Minggu, jarang bisa menemukan kios laksa tersebut di atas pukul 11.30. ”Saya mulai buka jam 07.30. Nanti agak siang sedikit sudah habis. Langganan saya banyak yang datang dari jauh, ada yang dari Sunter segala,” ungkap Ace yang setiap hari menjual 50 mangkuk laksa seharga Rp 6.000 per mangkuk itu.
Masih di Jalan Ranggagading juga dapat dinikmati minuman es buah pala Mang Okip yang segar dan soto kuning Pak Maman. Sama seperti nasi uduk dan laksa, dua jenis santapan itu sudah ada sejak masa kejayaan Bioskop City. Sebagai bukti betapa lama Maman sudah berjualan soto bogor, papan kayu yang menjadi alas atau telenan untuk mengiris daging saat ini sudah cekung hingga sedalam 5 sentimeter karena terlalu sering dipakai.
Di Jalan Suryakencana sendiri, begitu banyak pilihan jajanan dan makanan. Beberapa sudah ada sejak zaman dulu, seperti lumpia basah Anton, asinan Lengkap, bubur Bah Teng Oen, taoge goreng Gang Besi, sampai bir kocok jahe Acep di Jalan Roda.
Mereka pun masih mempertahankan cara masak tradisional. Seperti lumpia Anton yang masih menggunakan arang, atau taoge goreng Gang Besi yang setia memakai kayu bakar.
Pecinan
Bagaimana ceritanya Jalan Suryakencana jadi pusat jajanan? Warga setempat menuturkan, sejarahnya bermula dari permukiman Tionghoa di situ.
Tahun 1970-an, Jalan Suryakencana (di zaman Belanda bernama Handelstraat merupakan bagian Jalan Raya Pos atau Jalan Daendels) sudah dikenal sebagai kawasan Pecinan-nya Bogor. Warga Tionghoa bermukim di sekitar jalan itu, termasuk Jalan Roda dan Jalan Padasuka, sesuai penataan kota oleh Belanda. Seperti kawasan Empang atau alun-alun Bogor menjadi permukiman warga Arab.
Untuk memenuhi kebutuhan makanan, sejumlah warga akhirnya berinisiatif membuat beberapa jenis makanan sendiri yang khas China. ”Jadi, kalau mau makan, mereka tak perlu pergi jauh-jauh,” kata Gouw Tjeng Liam (42), pemilik asinan Lengkap, yang lahir dan besar di Jalan Suryakencana.
Seiring dengan perkembangan zaman, makanan khas China itu akhirnya beradaptasi dengan cita rasa makanan Jawa atau Sunda, sehingga jadilah racikan makanan khas Jalan Suryakencana yang masih diteruskan sampai sekarang. Ngohiang, bubur Bah Teng Oen, lumpia basah, soto bogor, dan taoge goreng adalah beberapa contohnya. (ILHAM KHOIRI)

Kompas 04/05/08


Comments :

0 comments to “Riwayat Kota dalam Semangkuk Laksa”